Anak usia dini merupakan pribadi yang memiliki karakter yang sangat
unik. Keunikan karakter tersebut membuat orang dewasa menjadi kagum
dan terhibur melihat tingkah laku lucu dan mengemaskan. Akan tetapi
tidak sedikit pula orang yang merasa kesal dengan tingkah laku anak
yang dianggapnya nakal dan susah diatur. Sebagai orang tua atau
pendidik yang baik, sudah tentu harus mengerti dan memahami berbagai
karakter dasar anak usia dini. Sebab dikarakter itulah yang akan
menjadi pusat perhatian untuk dikembangkan dan diarahkan menjadi
karakter yang positif. Berikut ini adalah beberapa karakteristik anak
usia dini menurut berbagai pendapat:

a. Unik, yaitu sifat anak itu berbeda satu sama lain. Anak
memiliki bawaan, minat, kapabilitas dan latar belakang kehidupan
masing-masing

b. Egosentris, yaitu anak lebih cendrung melihat dan memahami
sesuatu dari sudut pandang dan kepentingannya sendiri. Bagi anak
sesuatu itu sepanjang hal tersebut berkaitan dengan dirinya

c. Aktif dan energik, yaitu anak lazimnya senang melakukan
berbagai aktivitas. Selama terjaga dari tidu, anak seolah-olah tidak
pernah lelah, tidak pernah bosan, dan tidak pernah berhenti dari
aktivitasnya. Terlebih lagi kalau anak dihadapkan pada aktivitas yang
baru.

d. Rasa ingin tahu yang kuat dan antusias terhadap banyak hal.
Yaitu anak cendrung memerhatikan, membicarakan, dan mempertanyakan
berbagai hal yang sempat dilihat dan didengarnya terutama terhadap
hal-hal baru

e. Eksploratif dan berjiwa petualang, yaitu anak terdorong oleh
rasa ingin tahu yang kuat dan senang menjelajah, mencoba dan
mempelajari hal-hal yang baru.

f. Spontan, yaitu prilaku yang ditampilkan anak umumnya relative
asli dan tidak ditutup-tutupi sehingga merefleksikan apa yang ada
dalam perasaan dan pikirannya.

g. Senang dan kaya fantasi, yaitu anak senang dengan hal-hal yang
imajinatif. Anak tidak saja senang dengan cerita-cerita khayal yang
disampaikan oleh orang lain, tetapi juga ia sendiri juga senang
bercerita kepada orang lain.

h. Masih mudah frustasi, yaitu anak masih mudah kecewa bila
menghadapi sesuatu yang tidak memuaskan. Ia mudah menangis dan marah
bila keinginannya tidak terpenuhi.

i. Masih kurang pertimbangan dalam melakukan sesuatu, yaitu
anak masih kurang memiliki pertimbangan yang matang termasuk berkenaan
dengan hal-hal yang mambahayakannya.

j. Daya perhatian yang pendek, yaitu anak lazimnya memiliki
daya perhatian yang pendek, kecuali terhadap hal-hal yang secara
instrinsik menarik dan menyenangkan.

k. Bergairah untuk belajar dan banyak belajar dari pengalaman
yaitu anak melakukan banyak aktivitas yang menyebabkan terjadinya
perubahan tingkah laku pada dirinya.[1]

l. Semakin menunjukkan minat terhadap teman, yaitu anak mulai
menunjukkan untuk bekerjasama dan berhubungan dengan temannya.



Selain karakteristik-kateristik diatas, karakteristik lainya yang tak
kalah penting dan patut dipahami oleh setiap orang tua maupun peneliti
adalah selalu memiliki bekal kebaikan, anak suka meniru, bermain dan
memiliki rasa ingin tahu yang tinggi.[2]

Pada dasarnya anak telah diberi bekal kebaikan oleh Tuhan Yang Maha
Esa. Selanjutnya lingkunganlah yang berperan aktif dalam memepengaruhi
dan mengembangkan bekal kebaikan tersebut. Anak akan menjadi baik,
bila lingkungannya membuat baik dan demikian sebaliknya. Bekal
kebaikan dimiliki anak sejak lahir. Oleh karenanya pada saat usia dini
anak harus dibiasakan dengan hal-hal yang baik, agar potensi kebaikan
anak dapat berkembang sebagaimana mestinya. Dengan demikian, akan
tertanam pada diri anak karakter yang positif.

Sudah menjadi hal yang lumrah kiranya, bila ada anak yang suka meniru
gerakan dan dan prilaku kedua orang tuanya atau lingkungan didekatnya.
Apabila anak melihat dan merasakan akan senantiasa diikuti oleh anak.
Meskipn secara nalar anak belum dapat memilih dan mengerti mana yang
baik dan mana yang burk. Bagi anak apa yang menjadi membuatnya senang
dan menarik maka itulah yang akan diikuti oleh anak. Maka dari itu
dibutuhkan keteladanan yang baik agar membentuk karakter anak yang
baik pula.

Bermain merupakan kesukaan setiap anak usia dini. Bahkan, orang dewasa
pun terkadang juga masih suka bermain. Dalam konteks pendidikan
karakter bermain harus dijadikan dasar dalam kegiatan pembelajaran.[3]
Bagaimana anak dibuat senag dan dapat memperhatikan tujuan
pembelajaran. Harapannya agar anak tidak malas, jenuh dan dan bosan
dalam mengikuti berbagai kegiatan pembelajaran.

2. Karateristik Perkembangan Anak Masa Kanak-Kanak

Untuk meletakkan dasar perkembangan sikap, pengetahuan, keterampilan
dan daya cipta anak didik, guru perlu harus memahami
kemampuan-kemampuan apa yang mesti dikuasai anak didik, perkembangan
tahap awal masa kanak-kanak yang harus diselesaikan. Tugas
perkembangan merupakan tugas-tugas secara umum yang harus dikuasai
anak pada usia tertentu agar dapat hidup bahagia dan mampu
menyelesaikan tugas-tugas perkembangan berikutnya. Tugas tugas
perkembangan masa kanak-kanak yang harus dijalani adalah sebagai
berikut:

1) berkembang menjadi pribadi yang mandiri, 2) belajar memberi,
berbagi dan memperoleh kasih sayang, 3) belajar bergaul dengan anak
lain, Mengembangkan pengendalian diri Belajar bermacam-macam peran
orang dalam masyarakat, 4) belajar untuk mengenal tubuh masing-masing,
Belajar menguasai keterampilan motork halus dan kasar, 5) belajar
mengenal lingkungan fisik dan mengendalikan, 6) belajar menguasai
kata-kata baru untuk memahami orang anak atau orang lain, 7)
mengembangkan perasaan positif dalam berhubungan dengan lingkungan.[4]



Dari teori diatas dapat disimpulkan bahwa, penguasaan
guru sebagai tenaga pendidik harus mempunyai wawasan tentang tugas
perkembangan anak didiknya.

Anak usia dini mempunyai karakteristik perkembangan yang
cukup unik dan pesat. Perkembangan yang dialami anak sangat
dipengaruhi bagaimana pertumbuhannya. Bila anak mempunyai pertumbuhan
baik, secara umum perkembangannyapun akan berjalan dengan baik.

Dalam teori kematangan, Arnod Gesell yang dikutip oleh Uyu
Wahyudin menyebutkan bahwa pola tingkah laku dan perkembangan seorang
anak bisa secara otomatis sejalan dengan pertumbuhan fisik dan
perkembangan motoriknya. Menurutnya anak berkembang sesuai dengan
dengan waktu jadwal alaminya.[5] Dalam konteks ini, ada beberapa
karakteristik perkembangan anak usia dini yang wajib dipahami oleh
setiap orang tua maupun pendidik. Berikut karakteristik-karakteristik
perkembangan anak usia dini yang dimaksud.

a) Perkembangan Fisik-Motorik

Setiap terjadi perkembangan fisik pada anak, secara otomatis pula akan
terjadi perkembangan motoriknya baik itu motorik kasar maupun halus.
Menurut Elizabeth sebagaimana yang dikutip oleh Uyu Wahyudin,
perkembangan fisik sangat penting untuk dipelajari karena, baik secara
langsung maupun secara tidak langsung akan mempengaruhi prilaku anak
sehari-hari.[6] Menurut Beaty yang dijabarkan oleh Sabil,

Kemampuan motorik kasar seorang anak paling tidak dapat dilihat
melalui empak aspek, yaitu (1) berjalan atau walking, dengan indikator
berjalan turun-naik tangga dengan menggunakan dua kaki, (2) berlari
atau running, dengan indikator menunjukkan kekuatan dan kecepatan
berlari, berbelok ke kanan-kiri tanpa kesulitan, dan mampu berhenti
dngan mudah;(3) melompat atau jumping, dengan indikator mampu melompat
ke depan, ke belakang, dan ke samping; (4) memanjat atau climbing,
dengan indikator memanjat naik-turun tangga dan memanjat pepohonan.[7]



Perkembangan fisik-motorik sangat berperan penting bagi seorang anak.
Selain melatih kelincahan dan kecekatan, juga dapat memberikan
motivasi kepada anak dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Bahkan,
bila difungsikan dengan baik perkembangan fisik-motorik ini mampu
meningkatkan kecerdasan seorang anak. Untuk itu, perkembanagan ini
tidak boleh di kesampingkan. Sebisa mungkin orang tua atau pendidik
merespon dan memberikan waktu atau kesempatan pada sang anak dalam
melakukan berbagai gerakan yang dapat membantu dalam memgembangkan
fisik-motoriknya. Peran orang tua dan pendidik dapat ditunjukkan
melalui pemberian motivasi, bimbingan, latihan-latihan gerak
sederhana, dan lain sebagainya.



b) Perkembangan kognitif merupakan perkembangan yang terkait
dengan kemampuan berfikir seseoang. Bisa juga di artikan sebagai
perkembangan intelektual. Terjadinya proses perkembangan ini
dipengaruhi oleh kematangan otak yang mampu menunjukkan fungsinya
dengan baik. Misalnya, kemampuan untuk menolak dan sesuatu.[8]
Pendapat lain menyebutkan bahwa kongnisi merupakan bagian intelek yang
merujuk pada penerimaan, penafsiran, pemikiran, pengingatan,
pengkhayalan, pengambilan, keputusan, dan penalaran.

Dengan kemampuan kognisi inilah individu mampu memberikan respons
terhadap kejadian yang terjadi secarara internal dan eksternal.[9]

Tokoh yang mencetuskan kognitif ialah Jean Piget. Dalam teori ini,
Piaget mengungkapkan bahwa asimilasi merupakan proses ketika stimulus
baru dari lingkungan diintregasikan pada pengetahuan yang telah ada
pada diri anak. Proses ini dapat diartikan sebagai suatu obyek atau
ide baru ditafsirkan sehubungan dengan gagasan atau teori yang di
peroleh anak.[10]

Beberapa uraian di atas memberikan suatu penjelasan dan pemahaman
bahwa kemampuan kognisi seorang anak berkembang melalui proses
rangsangan yang di perolehnya dalam kehidupan sehari-hari.
Selanjutnya, rangsangan-rangsangan tersebut di terima dengan di
tafsirkan melalui data pikirnya yang kemudian di wujudkan dengan
perbuatan.

Berikut ini tahapan-tahapan perkembangan kognitif seorang anak menurut
Jean Piaget, sebagaimana yang dikutip oleh Sabil Risaldi.

a) Masa sensori motorik (0-2,5 tahun). Pada masa ini seorang anak
(bayi) mulai menggunakan sistem pengindraan dan aktivitas motorik
untuk mengenal lingkungannya, seperti reflex mencari putting susu ibu,
menangis, dan lain-lain.

b) Masa praoprasional (2-7 tahun). Pada masa ini seorang anak
sudah memiliki kemampuan menggunakan symbol yang mewakili suatu
konsep. Sebagai contoh, seorang anak yang melihat dokter sedang
praktik, ia bermain dokter-dokteran.

c) Masa konkreto prasional (7-11 tahun). Pada masa ini anak sudah
dapat melakukan berbagai tugas yang konkret. Ia mulai mengembangkan
tiga macam operasi berfikir, yaitu identifikasi (mengenali sesuatu),
negasi (mengingat sesuatu), dan reprokasi (mencari hubungan timbal
balik antara beberapa hal).

d) Masa operasional (11-dewasa). Pada masa ini seorang anak sudah
dapat berfikir abstrak dan hipotesis seperti menyimpulkan suatu hal.
[11]



Dari beberapa tahapan perkembangan anak tersebut, yang termasuk
kategori perkembangan anak usia dini adalah masa sensori motorik dan
pra operasional. Pada masa itulah seorang anak akan merespons segala
yang kita berikan kepadanya, tanpa ia mengerti apakah itu hal baik
atau buruk. Semua yang ia dengar dan lihat akan diserap dalam
pikirannya karena anak memang belum memiliki filter yang menyaring
segala sesuatu yang masuk pada dirinya. Para ahli juga berpendapat
bahwa:

Anak mengembangkan kemampuan kognitifnya melalui kegiatan bermain
dengan tiga cara, di antaranya (1) memanipulasi (meniru) apa yang
terjadi dan dilakukan oleh orang dewasa atau obyek yang ada di sekitar
anak; (2) masteri, yaitu menguasai suatu aktifitas dengan mengulangi
suatu kegiatan yang tentunya menjadi kesenangan dan memberikan
bermaknaan pada diri anak; (3) meaning, yaitu memberikan bermaknaan
pada diri anak sehingga menumbuhkan motifikasi anak dalam
melakukannya.[12]

Memahami paparan diatas, mengembangkan kemampuan kognitif
dapat dilakukan melalui berbagai kegiatan diantaranya meniru,
menguasai, dan member makna pada suatu kegiatan dengan bibingan dan
pengawasan dari guru agar pengembangan tersebut berkembang dan terarah
sesuai dengan perkembangan yang sehausnya.

c. Perkembangan Emosi

Emosi adalah suatu perasaan yang dimiliki oleh seorang anak, baik itu
perasan senang maupun sedih. Emosi ini mulai berkembang semenjak ia
lahir kedunia. Meskipun ada anggapan bahwa sejak dalam kandungan
seseorang sudah dapat merasakan sesuatu.

Perkembangan emosi pada diri seorang anak akan muncul manakala ia
mengalami interaksi dengan lingkungan. Pada anak usia dini, ungkapan
perasaan ini ditunjukkan melalui berbagai respons yang dapat
dilakukannya. Sebagai contoh, seorang anak yang meminta suatu
permainan, tetapi tidak segera dipenuhi, perasaan anak akan sedih dan
marah yang kemudian ditunjukkan dengan raut wajah yang memerah atau
menangis dengan sekuat tenaga. Namun apabila permintaaannya segera
dipenuhi, ia akan merasa gembira dan ditunjukkan dengan senyuman yang
manis dan wajah berseri-seri.

Perasaan senang bergairah dan bersemangat dan rasa ingin tahu yang
tinggi yang disebut dengan emosi positif. Sementara perasaan tidak
senang, kecewa, tidak bergairah disebut emosi negatif.[1] Perasaan
seorang anak dapat digolongkan menjadi dua macam, yaitu perasaan yang
menyangkut urusan biologi atau jasmaniah dan perasaan yang menyangkut
urusan ruhaniah.[2]

Dalam kontek diatas, seorang pendidik atau orang tua, harus dapat
menciptakan bagaimana memunculkan emosi positif pada diri
anak-anaknya, sehingga anak dapat belajar dan berinteraksi dengan
lingkungan yang baik.

d. Perkembangan Bahasa

Bahasa merupakan hal yang penting bagi anak, bahasa merupakan suatu
bentuk menyampaikan apa yang dinginkan terhadap segala sesuatu yang
inginkan. Dengan bahasa orang tua atau pendidikan akan tahu yang
menjadi keinginan anak, bahasa ialah bahasa yang ditujnjukan melalui
ekspresi wajah anak, semakin besar usia anak akan terlihat bahasa yang
dikeluarkan dari lisannya mulai perkata sampai pada kalimat yang
kompleks.

Bahasa merupakan semua cara berkomunikasi dengan orang
lain, semua cara untuk berkomunikasi, yang mana pikirannya dan
perasaan dinyatakan dalam bentuk lisan, tulisan, isyarat atau gerak
dengan menggunakan kata-kata, simbol, lambang atau gambar atau
lukisan. Bahasa juga diartikan urutan kata-kata, bahasa digunakan
untuk menyampaikan informasi mengenai tempat berbeda atau waktu yang
berbeda.[3] Bahasa sendiri mempunyai tiga fungsi, yaitu: fungsi
aspek ekspresi yang menyatakan kehendak dan pengalaman jiwa, fungsi
aspek sosial yaitu untuk mengadakan komunikasi dengan orang lain dan
dan aspek intensional yaitu, fungsi aspek untuk menunjukan atau
membanggakan sesuatu.[4] Perkembangan bahasa terbagi menjadi beberapa
tahap sebagai berikut:

1. Prastadium (umur 0;6-1;0) meraba atau keluar suara yang
belum berarti, serta tunggal terutama huruf-huruf bibir.

2. Masa pertama (umur 1;0-1;6) penguasaan kata yang belum lengkap
seperti mem dan mik.

3. Masa kedua (umur 2;0-2;0) masa mama, yaitu masa ketika anak
sudah mulai berbicara dan tanya mama.

4. Masa ketika, (umur 2;0-2;6) masa stadium fleksi (menafsirkan)
yaitu anak mulai dapat menggunakan kata-kata yang dapat ditafsirkan
atau kata-kata yang sudah diubah dan sudah menyusun kalimat pendek.

5. Masa keempat (umur 2;6 keatas) masa stadium anak kalimat
yaitu, anak sudah dapat merangkaikan pokok kalimat dengan penjelasan
berupa anak kalimat.[5]



Dari penjelasan diatas dapat dipahami bahwa, bahasa sangatlah
penting bagi pekembangan anak. Tugas orang tua dan pendidik untuk
mengasah kemampuan anak agar memiliki kemampuan bahasa yang baik saat
sang anak dewasa kelak.

e. Perkembangan Moral

Moral merupakan suatu nilai yang dijadikan
pedoman dalam bertingkah laku. Perkembangan moral pada anak masih
terbatas, anak usia dini belum mampu menguasai nilai-nilai abstrak
benar– salah dan baik-buruk namun penanaman moral harus dikenalkan
sejak dini agar anak terbiasa dan biasa membedakan mana yang benar dan
salah. Terdapat pembagian perkembangan moral anak sebagai berikut:

1) Tahap prakonvesional untuk usia 2-8 tahun, penalaran moral
anak dikendalikan oleh imbalan atau hadiah dan hukuman eksternal.

2) Tahap konvesional untuk usia 9-13 tahun, anak mentaati
standar-standar tertentu. Tetapi mereka tidak mentaati standar yang
lain (eksternal), seperti orang tua atau aturan-aturan masyarakat.
Anak menghargai kebenaran, kepedulian dan kesetian kepada orang lain
sebagai landasan pertimbangan moral.

3) Tahap pascaconvesional untuk anak diatas usia 13, yaitu anak
mengenal tindakan-tindakan moral alternatif dan menjajaki
pilihan-pilihan kemudian memutuskan suatu kode moral pribadi.[6]



Selain tahapan-tahapan perkembangan moral diatas, terdapat juga
perkembangan moral yang didasarkan dengan tata nilai yang ada yaitu:

(a) Usia 1;0- 4;0 tahun, pada tahap ini ukuran baik buruk tergantung
apa yang dikatakan orang tua. Walaupun anak saat belum tahu benar
hakikat atau perbedaan antara yang baik dan buruk sebab saat ini anak
belum bisa menguasai diri sendiri.

(b) Usia 4;0- 8;0 tahun, pada tahap ini ukuran nilai bagi seorang
anak adalah apa yang lahir dari realitas, anak belum bisa menafsirkan
hal-hal yang tersirat dari sebuah perbuatan antara perbuatan yang
disengaja atau tidak. Seseorang menilai sesuai dengan kenyataan.

(c) Usia 13;0-13;0 tahun, anak sudah dapat mengenal ukuran baik
buruk secara, meskipun masih terbatas, yaitu anak sudah dapat
menghargai pendapat atau alasan dari perbuatan orang lain. Anak mulai
dapat menghormati orang lain yang patuh, taat atau sebaliknya.

(d) Usia 13;0-19;0 tahun, seseorang anak sudah mulai sadar betul
tentang tata nilai kesusilaan, anak akan patuh atau melanggar
berdasarkan kepahaman terhadap konsep nilai yang diterima. Pada tahap
ini anak benar-benar berada pada kondisi dapat mengendalikan diri
sendiri. [7]



Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan pada awalnya
pengenalan nilai dan pola tindakan masih bersifat paksaan dan anak
tidak mengetahui maknanya akan tetapi sejalan dengan perkambangan
intelektualnya anak berangsur-ansur mulai mengikuti ketentuan yang
berlaku keluargnya dan lingkungan sekitarnya.

f. Perkembangan Sosial

Perkembangan sosial merupakan perkembangan yang melibatkan hubungan
maupun interaksi anak dengan orang lain. Perkembangan sosial dimulai
sejak lahir, hal ini dibuktikan dengan tangisan anak ketika baru
dilahirkan untuk mengadakan kontak atau hubungan dengan orang lain.
Ketika anak masih berusia kecil, perkembangan sosial anak ditunjukan
dengan senyumang gerakan atau ekpresinya. Namun dalam perkembangannya
kemudian simbol-simbol atau hubungan-hubungan dengan orang lain itu
menjadi nyata dan dilakukan dengan perbuatan-perbuatan yang lebih
konkret. Perkembangan sosial anak meliputi tahap sebagai berikut:

1. Usia 0-2 tahun, yaitu anak mulai tersenyum dan memandang orang lain.

2. Usia 0-3 tahun, yaitu anak tersenyum kembali, mengeluarkan
berbagai suara sebagai jawaban atau ransangan dari luar

3. Usia 0-4 tahun, yaitu anak menangis menolak sebagai tanda
tidak setuju terhadap orang mengadakan hubungan.

4. Usia 0-5 tahun yaitu anak mengikuti dengan gerakan mata atau
terhadap gerakan mata atau terhadap gerakan orang yang sedang lalu
lang.

5. Usia 0-6 tahun, yaitu anak mengadakan reaksi terhadap orang
yang marah atau ramah.

6. Usia 0-7 yaitu anak mulai aktif mengadakan hubungan mencoba
mengadakan anak aksi, baik dalam bentuk gerakan atau suara-suara.

7. Usia 0-8 tahun, yaitu anak dapat bermain, sembunyi-sembunyi
dan memanggil, seperti mama, papa, adik dan lain-lain.

8. Usia 0-1 tahun yaitu anak mencoba menarik perhatian orang dewasa.

9. 0-1 tahun, yaitu anak mulai mengerti akan isyarat-isyarat yang
sederhana, contoh bye-bye dengan melambaikan, atau menunjukan dengan
jari satu dan lain-lain.[8]



Perkembangan sosial sangat dibutuhkan bagi anak usia dini, karena
kelak ketika ia dewasa ia akan hidup dalam lingkungan masyarakat yang
mana satu sama lain saling membutuhkan. Dengan membiasakan anak untuk
bersosialisasi akan memudahkan sang anak hidup dan berinteraksi dengan
orang lain.[9]

g. Perkembangan Imajinasi (Fantasi)

Fantasi atau imajinasi adalah daya cipta untuk menciptakan
tanggapan-tanggapan baru atas bantuan tanggapan-tanggapan yang telah
ada lama imajinasi atau fantasi merupakan kreativitas.[10] Pada anak
usia dini perkembangan imajinasi atau kreativitas anak masih terbatas
atau masih sangat terbatas, sebab anak belum memperoleh pengalaman
yang memadai dari lingkungan. Namun demikian seiring dengan
pertumbuhan dan perkembangan yang semakin dewasa, daya imajinasinya
pun semakin meningkat, perkembangan imajinasi atau fantasi kreativitas
anak dibedakan menjadi dua:

1. Fantas terpimpin (tuntutan) yaitu timbulnya fantasi disebabkan
adanya kesan setelah menggapai hasil ciptakan orang lain atau tuntutan
oleh karya orang lain.

2. Fantasi mencipta, yaitu timbulnya fantasi seseorang yang
muncul karena kekuatan atau potensi yang ada pada dirinya secara murni
tanpa adanya tuntutan dari luar.

Selain penjelasan diatas tentang fantasi atau imajinasi pada
perkembangan anak, terdapat juga tahapan lainnya imajinasi dan fantasi
pada anak sebagai berikut:

a) Usia 0;0-4;0 tahun, masa cerita struweplter, yaitu
anak-anak senang terhadap cerita-cerita anak nakal, rambut panjang,
pakaian kumal, kuku panjang dan lain-lain. Pada masa ini anak tidak
menghiraukan tentang kondisi lingkungan. Senang mementingkan dirinya
sendiri.

b) Usia 0-4;0-8; yaitu masa cerita khayal, apa yang dikhayalkan
itu adalah kondisi sebenarnya, jadi masa ini sangat senang pada
cerita-cerita khayal atau dongeng, walaupun cerita tersebut
diulang-ulang anak tidak merasa bosan, tidak jemu bahkan bila yang
bercerita itu ada kesalahan ia langsung menegurnya.

c) Usia 8;0-12;0 tahun, masa cerita realitas, yaitu anak sudah
mulai senang terhadap cerita-cerita nyata (pahlawan, sejarah, biologi
dan lain-lain, pada masa ini, pengaruh fantasi pada anak sudah mulai
berkurang sebab pengamatan sudah mulai tertib. Ia sudah dapat
membedakan antara yang khayal dengan realita.[11]



Dari penjelasan diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa perkembangan
anak berubah sesuai dengan tingkat usia anak. Semakin bertambah usia
anak, semakin matang pula perkembangannya.


________________________________

[1] Syamsu Yusuf dan Nani M. Sugandhi (2011) Perkembangan Peserta
Didik, Jakarta: Rajawali Press, hal 64

[2] Abu Ahmad an Munawar Sholeh, (2005), Psikologi Perkembangan
Jakarta:Rineka Cipta hal, 98

[3] Uyu Wahyudin dan Mubiar Agustin (2011), Penelitian Perkembangan
Anak Usia Dini Bandung : Refika Aditama, hal 36

[4] Abu Ahmadi dan Munawar Sholeh (2005), Psikologi Perkembangan
Jakarta: Rineka Putra, hal 95

[5] Abu Ahmadi, Psikologi Perkembangan..., hal 95

[6] Abu Ahmadi, Psikologi Perkembangan…, hal 103

[7] Abu Ahmadi, Psikologi Perkembangan…, hal 105

[8] Abu Ahmadi, Psikologi Perkembangan..., hal 105

[9] Abu Ahmadi, Psikologi Perkembangan..., hal 100

[10] Abu Ahmadi, Psikologi Perkembangan..., hal 100

[11] Abu Ahmadi, Psikologi Perkembangan..., hal 100


________________________________

[1]Syamsu Yusuf L.N dan Nani M Sugandhi (2013),Perkembangan Peserta
Didik,cet. IV Jakarta: Rajawali Press, hal 48-50

[2] Muhammad Fadlillah dan Lilif Mualifutu Khorida, Pendidikan Karakter…, hal.46

[3] Muhammad Fadlillah dan Lilif Mualifutu Khorida , Pendidikan
Karakter…, hal.83

[4] Moeslichatoen (1999), Metode Pengajaran di Taman Kanak-kanak,
Jakarta: Rineka Cipta, hal 4-5

[5] Uyu Wahyudin dan Mubiar Agustin (2011), Penilaian Perkembangan
Anak Usia Dini, Bandung: Reflika Aditama, hal.22





[7] Sabil Risaldy & Meity (2014), Bimbingan Konseling: Implementasi
Pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jakarta: Luxima, hal 45





[9] Syamsu Yusuf, Perkembangan Peserta Didik…, hal. 98

[10] Sabil Risaldy & Meity, Bimbingan Konseling…,hal 45

[11] Sabil Risaldy & Meity, Bimbingan Konseling…,hal 45

[12] Sabil Risaldy & Meity, Bimbingan Konseling…, hal 45